Apa fungsi rumah bagi kita? Sekadar tempat kita menghilangkan lelah di mana istri dan anak sebagai hiburannya atau sebuah tempat yang indah, di mana kita berjuang dengan kesungguhan hati?
Makhluk hidup selalu merindukan rumah, burung mempunyai sarang yang dianyam dengan rasa cinta dan kasih; ikan mempunyai rumpun-rumpun karang laut tempat bermesraan yang aman; semut menggali lubang di tanah tempat menyelenggarakan kehidupan sosial mereka. Begitu pula manusia selalu merindukan rumah, tempat saling memberi makna dan arti, tempat menyemai kasih sayang dan kehidupan yang baru, tempat sabar dan syukur bertemu.
Sayang, manusia sering kali menjadi terlalu cerdas menciptakan rumah-rumah model baru yang rapuh, kecerdasan yang hanya dipimpin oleh nafsu, kepintaran yang menipu. Mereka membuat rumah rapuh, bahkan lebih rapuh dari anyaman laba-laba. Mereka senang menghabiskan hari-harinya di kamar hotel, menghabiskan malam-malamnya di lantai-lantai diskotek, menghabiskan energi hidupnya di ruang kerja, tempat seminar, ruang lobi. Tiba di rumah tinggal ampas, rasa capek yang mudah dituangkan dalam kemarahan.
Seorang ayah seringkali menjadikan rumah sebagai tempat melepaskan lelah setelah seharian bekerja. “Ma, tolong anak-anak suruh diam. Papa capek bekerja seharian, ingin tidur,” kata seorang ayah. Kita pun sering mendengar perkataan. “Salah Mama kalau anak-anak jadi nakal. Papa bekerja seharian di kantor, tidak mempunyai waktu untuk tinggal di rumah, mengajari mereka, menanyakan apakah mereka sudah mengerjakan PR. Sesampai di rumah, Papa capek ingin istirahat. Jangan bebani Papa dengan masalah rumah.”
Rumah sering kali hanya menjadi terminal, stasiun, atau bandara. Kita berhenti sejenak untuk kemudian meneruskan perjalanan. Setelah capek duduk berjam-jam di bus dan kereta, atau setelah jenuh duduk di kursi pesawat. Kita butuh tempat untuk istirahat guna memulihkan kondisi. Setelah tenaga kita pulih dan pikiran kita jadi segar kita akan pergi kembali. Kalau kita berbicara hanya sekadar basa-basi, tidak akan membuat kita menjadi bagian yang sejati dari terminal, stasiun atau bandara. Duduk memesan minuman dan makanan, dilayani dengan senyum menawan dari para pelayan. Lalu kita pergi lagi. Mungkin esok akan kembali dan melakukan perbuatan yang hampir sama.
Seorang ayah setelah capek bekerja, pulang ke rumah guna menghilangkan capek; masuk ke ruang makan, mengharapkan istri duduk di seberang dengan senyum indah. Anak-anak tertawa lucu. Kalaupun berbicara, hanya sekadar pemanis bibir saja. Jika ada anak yang bermasalah di lingkungan sekitarnya atau di sekolah, sang ayah akan berkata, “Tolong Mama selesaikan, Papa besok kerja,” atau bahkan berkata, “Mama tidak bisa mendidik anak!” Setelah itu, sang ayah membenamkan diri di kamar, menghilangkan lelah di antara bantal dan guling.
Di tempat kerja seorang ayah bisa sangat perhatian terhadap anak buahnya tetapi di rumah menjadi sosok yang lain. Ia bisa berkata santun terhadap pelanggan wanita tetapi tidak bisa santun dan lembut terhadap istrinya.
Seorang memang terkadang mengalami fase capek dan lelah. Namun, kita harus selalu berusaha menemukan caranya agar tetap cerah dan ceria di depan anak-anak. Menunjukkan kemesraan, kelembutan, kasih sayang, tanggung jawab kepada keluarganya. Jika tidak, rumah anak menjadi seperti terminal dan ayah akan menjadi sosok yang asing di hadapan istri dan anak-anaknya.